Kamis, 13 Juni 2013

Wawasan Al-Quran


 
 
 
 
 



UKHUWAH                                                  
 
         Ukhuwah    (ukhuwwah)    yang    biasa    diartikan    sebagai
"persaudaraan",  terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya
berarti "memperhatikan". Makna asal ini  memberi  kesan  bahwa
persaudaraan  mengharuskan  adanya  perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara.
 
Boleh jadi, perhatian itu pada  mulanya  lahir  karena  adanya
persamaan  di  antara  pihak-pihak  yang  bersaudara, sehingga
makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  ukhuwah
diartikan  sebagai  "setiap  persamaan  dan  keserasian dengan
pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak,
atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata
ukhuwah (persaudaraan) mencakup  persamaan  salah  satu  unsur
seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab ditemukan  bahwa  kata  akh  yang  membentuk  kata
ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
 
Masyarakat   Muslim   mengenal  istilah  ukhuwmah  Islamiyyah.
Istilah ini  perlu  didudukkan  maknanya,  agar  bahasan  kita
tentang  ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan  kebahasaan  untuk  menetapkan
kedudukan  kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada
kesan  bahwa  istilah  tersebut  bermakna  "persaudaraan  yang
dijalin   oleh   sesama   Muslim",   atau  dengan  kata  lain,
"persaudaraan antar sesama Muslim", sehingga dengan  demikian,
kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.
 
Pemahaman  ini  kurang  tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan
dengan kata ukhuwah lebih tepat  dipahami  sebagai  adjektifa,
sehingga  ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat
Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak, ada  dua
alasan untuk mendukung pendapat ini.
 
Pertama,  Al-Quran  dan  hadis  memperkenalkan  bermacam-macam
persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
 
Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam  bahasa  Arab,  kata
sifat  selalu  harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika
yang  disifati  berbentuk  indefinitif  maupun  feminin,  kata
sifatnya  pun  harus  demikian. Ini terlihat secara jelas pada
saat  kita  berkata  ukhuwwah   Islamiyyah   dan   Al-Ukhuwwah
Al-Islamiyyah.
 
UKHUWAH DALAM AL-QURAN
 
Dalam  Al-Quran,  kata  akh  (saudara)  dalam  bentuk  tunggal
ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti.
 
1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat
yang  berbicara  tentang  kewarisan,  atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misalnya,
 
     Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu,
     anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
     saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara
     perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari
     saudara-saudaramu yang laki-laki ... (QS Al-Nisa [4]:
     23)
 
2. Saudara yang dijalin oleh ikatan  keluarga,  seperti  bunyi
doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran,
 
     Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
     keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]:
     29-30).
 
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti
dalam firman-Nya,
 
     Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud
     (QS Al-A'raf [7]: 65).
 
Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang  terhadap  ajaran
yang  dibawa  oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka
(baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).
 
4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.
 
     Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
     betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia
     berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku";
     dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan (QS Shad
     [38]: 23).
 
Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda.
 
     Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun
     teraniaya.
 
Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang
yang menganiaya, beliau menjawab,
 
     Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang
     demikian itulah pembelaan baginya. (HR Bukhari melalui
     Anas bin Malik)
 
5. Persaudaraan seagama.
 
Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat  ayat
10
 
     Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.
 
Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah
dapat  mencakup  berbagai  persamaan. Dari sini 1ahir lagi dua
macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas  tidak  disebut
oleh   Al-Quran  sebagai  "persaudaraan",  namun  substansinya
adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:
 
1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah).
 
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh  Allah
dari  seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS
Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua  manusia  adalah
seketurunan dan dengan demikian bersaudara.
 
2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.
 
Di  atas  telah  dijelaskan  bahwa  dari  segi bahasa kata akh
(saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari  sini
1ahir   persaudaraan   kesemakhlukan.  Al-Quran  secara  tegas
menyatakan bahwa:
 
     Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan
     burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya)
     kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6):
     38).
 
MACAM-MACAM UKHUWAH ISLAMIAH
 
Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah
yang  bersifat  Islami  atau  yang diajarkan oleh Islam. Telah
dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau
jenis  "persaudaraan"  yang disinggung oleh Al-Quran. Semuanya
dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini  memperkenalkan  paling
tidak empat macam persaudaraan:
 
1.  Ukhuwwah  'ubudiyyah  atau   saudara   kesemakhlukan   dan
kesetundukan kepada Allah.
 
2.  Ukhuwwah  insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka  semua  berasal  dari
seorang  ayah  dan  ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat
sabda beliau,
 
     Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.
     
     Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.
 
3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan  dalam
keturunan dan kebangsaan.
 
4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
Rasulullah Saw. bersabda,
 
     Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita
     adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.
 
Makna dan macam-macam persaudaraan  tersebut  di  atas  adalah
berdasarkan   pemahaman   terhadap  teks  ayat-ayat  Al-Quran.
Ukhuwah yang secara  jelas  dinyatakan  oleh  Al-Quran  adalah
persaudaraan  seagama  Islam, dan persaudaraan yang jalinannya
bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari  pengamatan
terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam Al-Quran,
yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu:
 
Pertama, ikhwan, yang biasanya  digunakan  untuk  persaudaraan
tidak  sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian
disertakan dengan kata  ad-din  (agama)  seperti  dalan  surat
At-Taubah ayat 11.
 
     Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan
     menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu
     seagama.
 
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata  ad-din
(agama) seperti:
 
     Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka
     adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220).
 
Teks ayat-ayat tersebut secara  tegas  dan  nyata  menunjukkan
bahwa Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaud
araan tidak seagama.
 
Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat,
terdapat   sebanyak  tujuh  kali  dan  digunakan  untuk  makna
persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,
 
     Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS
     A1-Hujurat [49]: 10).
     
Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata
ikhwah  dalam  arti  persaudaraan seketurunan ketika berbicara
tentang persaudaraan sesama Muslim,  atau  dengan  kata  lain,
mengapa  Al-Quran  tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata
ini digunakan  untuk  makna  persaudaraan  tidak  seketurunan?
Bukankah  lebih  tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat
kenyataan bahwa saudara-saudara  seiman  terdiri  dari  banyak
bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?
 
Menurut  penulis,  hal  ini  bertujuan  untuk  mempertegas dan
mempererat jalinan hubungan antar  sesama-Muslim,  seakan-akan
hubungan  tersebut  bukan  saja dijalin oleh keimanan (yang di
dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata  al-mu'minun),  melainkan
juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang
ditunjukkan oleh kata ikhwah).  Sehingga  merupakan  kewajiban
ganda   bagi   umat  beriman  agar  selalu  menjalin  hubungan
persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun
yang   dapat   dijadikan   dalih  untuk  melahirkan  keretakan
hubungan.
 
FAKTOR PENUNJANG PERSAUDARAAN
 
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun
sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin
kokoh pula persaudaraan. Persamaan  rasa  dan  cita  merupakan
faktor  dominan  yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki,
dan  pada  akhirnya  menjadikan  seseorang  merasakan   derita
saudaranya,   mengulurkan   tangan   sebelum   diminta,  serta
memperlakukan saudaranya bukan atas  dasar  "take  and  give,"
tetapi justru
 
     Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri
     mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).
 
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan
nyaman  pada  saat  berada  di  antara sesamanya, dan dorongan
kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang  akan
melahirkan rasa persaudaraan.
 
Islam  datang  menekankan  hal-hal  tersebut, dan menganjurkan
mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan.  Jangankan
terhadap  sesama  Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS
Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34): 24-25).
 
PETUNJUK AL-QURAN UNTUK MEMANTAPKAN UKHUWAH
 
Guna  memantapkan  ukhuwah  tersebut,  pertama  kali  Al-Quran
menggarisbawahi  bahwa  perbedaan  adalah  hukum  yang berlaku
dalam  kehidupan  ini.  Selain  perbedaan  tersebut  merupakan
kehendak  Ilahi,  juga  demi kelestarian hidup, sekaligus demi
mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.
 
     Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
     aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
     niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah
     hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu,
     maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS
     Al-Ma-idah [5]: 48).
 
Seandainya  Tuhan  menghendaki  kesatuan   pendapat,   niscaya
diciptakan-Nya  manusia  tanpa akal budi seperti binatang atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah
dan  memilih,  karena  hanya  dengan  demikian seluruhnya akan
menjadi satu pendapat.
 
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau
bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena
semua  itu  tidak  mungkin  berada  di  luar  kehendak  Ilahi.
Kalaupun  nalarnya  tidak  dapat memahami kenapa Tuhan berbuat
demikian,  kenyataan  yang  diakui  Tuhan   itu   tidak   akan
menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang
lain  secara  halus  maupun  kasar  agar  menganut   pandangan
agamanya,
 
     Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena
     sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan
     ini (Islam) (QS Al-Kahf [18]: 6).
     
     Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
     semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka
     apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi
     orang-orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).
 
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud,  Allah  Swt.
memberikan  beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan
yang diperintahkan.  Pada  kesempatan  ini,  akan  dikemukakan
petunjuk-petunjuk  yang  berkaitan  dengan persaudaraan secara
umum dan persaudaraan seagama Islam.
 
1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang  umum,  Islam
memperkenalkan  konsep  khalifah.  Manusia diangkat oleh Allah
sebagai  khalifah.   Kekhalifahan   menuntut   manusia   untuk
memelihara,  membimbing,  dan  mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan  penciptaannya.  Karena  itu,  Nabi
Muhammad   Saw.  melarang  memetik  buah  sebelum  siap  untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau  menyembelih
binatang   yang   terlalu   kecil.  Nabi  Muhammad  Saw.  juga
mengajarkan agar  selalu  bersikap  bersahabat  dengan  segala
sesuatu  sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal  istilah  "penaklukan  alam",  karena  secara   tegas
Al-Quran  menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia
adalah Allah (QS 45: 13). Secara  tegas  pula  seorang  Muslim
diajarkan  untuk  mengakui  bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi.  Pada
saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,
 
     Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
     kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan
     menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13).
 
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar  pemeluk  agama,  Islam
memperkenalkan ajaran,
 
     Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan
 
     Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
     Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
     kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah
     kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42):
     15).
 
Al-Quran juga menganjurkan agar  mencari  titik  singgung  dan
titik  temu  antar  pemeluk  agama. Al-Quran menganjurkan agar
dalam  interaksi  sosial,  bila  tidak   ditemukan   persamaan
hendaknya  masing-masing  mengakui  keberadaan pihak lain, dan
tidak perlu saling menyalahkan.
 
     Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
     kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di
     antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
     Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
     pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
     sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika
     mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada
     mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa
     kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]:
     64).
 
Bahkan Al-Quran mengajarkan  kepada  Nabi  Muhammad  Saw.  dan
umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah
kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:
 
     Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
     kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan
     ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami
     perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang
     hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan
     menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan
     benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha
     Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).
 
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama
sekali   tidak   dilarang   oleh   Islam,  selama  pihak  lain
menghormati hak-hak kaum Muslim,
 
     Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat
     adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang
     yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak
     (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
     menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
     Al-Mumtahanah [60]: 8).
 
Ketika    sebagian    sahabat    Nabi    memutuskan    bantuan
keuangan/material  kepada  sebagian penganut agama lain dengan
alasan bahwa mereka  bukan  Muslim,  Al-Quran  menegur  mereka
dengan firman-Nya:
 
     Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah
     (memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi
     petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta
     yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada
     non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ...
     (QS Al-Baqarah [2]: 272).
 
3.  Untuk  memantapkan  persaudaraan  antar   sesama   Muslim,
Al-Quran  pertama  kali  menggarisbawahi  perlunya menghindari
segala macam sikap lahir  dan  batin  yang  dapat  mengeruhkan
hubungan di antara mereka.
 
Setelah menyatakan bahwa orang-orang  Mukmin  bersaudara,  dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya  terjadi  kesalahpahaman  di   antara   dua   orang
(kelompok)  kaum  Muslim,  Al-Quran  memberikan  contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang  setiap  Muslim
melakukannya:
 
     Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria)
     mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi
     mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada
     mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula
     wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
     lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang
     diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang
     memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
     sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
     gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan
     adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa
     tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
     zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).
 
Selanjutnya ayat di  atas  memerintahkan  orang  Mukmin  untuk
menghindari  prasangka  buruk,  tidak  mencari-cari  kesalahan
orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh  Al-Quran
seperti  memakan  daging-saudara  sendiri yang telah meninggal
dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).
 
Menarik untuk diketengahkan, bahwa  Al-Quran  dan  hadis-hadis
Nabi  Saw.  tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah),
tetapi  yang  ditempuhnya  adalah   memberikan   contoh-contoh
praktis.  Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan
sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat
11-12  di  atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw.
antara lain,
 
     Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah
     sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling
     mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
     saling membenci, dan jangan saling membelakangi
     (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i,
     melalui Abu Hurairah).
     
Semua itu wajar,  karena  sikap  batiniahlah  yang  melahirkan
sikap  lahiriah.  Demikian  pula,  bahwa sebagian dari redaksi
ayat dan hadis yang  berbicara  tentang  hal  ini  dikemukakan
dengan  bentuk  larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena
at-takhliyah  (menyingkirkan  yang  jelek)  harus  didahulukan
daripada   at-tahliyah   (menghiasi   diri  dengan  kebaikan),
melainkan  juga  karena  "melarang  sesuatu  mengandung   arti
memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."
 
Semua  petunjuk  Al-Quran  dan  hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya  bertujuan  untuk
memantapkan  ukhuwah.  Perhatikan  misalnya larangan melakukan
transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan  riba  (QS
2:  278),  anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan
mengurangi  atau  melebihkan  timbangan  (QS  83:  1-3),   dan
lain-lain.
 
Dalam  konteks  pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara
tegas memerintahkan orang-orang  Mukmin  untuk  merujuk  Allah
(Al-Quran)  dan  Rasul  (Sunnah).  Tetapi  seandainya  terjadi
perbedaan   pemahaman   Al-Quran   dan   Sunnah   itu,    baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk
Al-Quran dalam hal ini adalah:
 
     Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
     tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan
     Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa
     ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran)
     Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada
     Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
     bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).
 
KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH
 
Setelah   mempelajari   teks-teks   keagamaan,   para    ulama
mengenalkan  tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut
perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
 
a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)
 
Konsep ini mengakui adanya keragaman  yang  dipraktekkan  Nabi
Saw.  dalam  bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan  akan  kebenaran  semua  praktek  keagamaan,  selama
semuanya  itu  merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu
meragukan   pernyataan   ini,   karena   dalam   konsep   yang
diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa
hasil 5 +  5?",  melainkan  yang  ditanyakan  adalah,  "Jumlah
sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"
 
b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).
 
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat  seorang
ulama,  ia  tidak  akan  berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran
oleh Allah Swt.,  walaupun  hasil  ijtthad  yang  diamalkannya
keliru.  Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang
benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah
Swt.  sendiri,  yang  baru  akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang  mengemukakan
ijtihad   maupun  orang  yang  pendapatnya  diikuti,  haruslah
memiliki  otoritas  keilmuan,  yang   disampaikannya   setelah
melakukan  ijtihad  (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman
(Al-Quran dan Sunnah).
 
c.  Konsep  la  hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah
belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya  ijtihad  dilakukan
oleh seorang mujtahid).
 
Ini  berarti  bahwa  hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun  hasil  ijtihadnya
berbeda-beda.  Sama  halnya  dengan  gelas-gelas  kosong, yang
disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman  yang
tersedia.   Tuan  rumah  mempersilakan  masing-masing  tamunya
memilih  minuman  yang  tersedia  di  atas  meja  dan  mengisi
gelasnya  --penuh  atau  setengah--  sesuai  dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu  berasal  dari
minuman  yang  tersedia  di  atas  meja). Apa dan seberapa pun
isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.
Jangan  mempersalahkan  seseorang yang mengisi gelasnya dengan
kopi, dan Anda pun  tidak  wajar  dipersalahkan  jika  memilih
setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
 
Memang   Al-Quran  dan  hadis-hadis  Nabi  Saw.  tidak  selalu
memberikan interpretasi yang pasti  dan  mutlak.  Yang  mutlak
adalah  Tuhan  dan  firman-firman-Nya,  sedangkan interpretasi
firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti  ataupun
mutlak.  Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan
erat   dengan   banyak   faktor,   antara   lain   lingkungan,
kecenderungan  pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja  tingkat  kecerdasan
dan pemahaman masing-masing mujtahid.
 
Dari  sini  terlihat  bahwa  para ulama sering bersikap rendah
hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami  benar,  tetapi  boleh
jadi  keliru,  dan  pendapat  Anda  menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu,
mereka  selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki
keterbatasan, dan dengan  demikian,  tidak  mungkin  seseorang
akan  mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah
yang paling benar.
 
UKHUWAH DALAM praktek
 
Jika kita mengangkat salah satu  ayat  dalam  bidang  ukhuwah,
agaknya  salah  satu  ayat  surat  Al-Hujurat  dapat dijadikan
landasan  pengamalan  konsep  ukhuwah  Islamiah.   Ayat   yang
dimaksud  adalah,  Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara,
karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49:
10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam
Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap  kejiwaan,
melainkan  justru  digunakan  dalam kaitannya dengan perbuatan
nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami  dalam  arti
mendamaikan  antara  dua  orang  (atau lebih) yang berselisih,
melainkan  harus  dipahami  sesuai  makna  semantiknya  dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
 
Puluhan  ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan
ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata  shalah  diartikan
sebagai  antonim  dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan  sebagai  yang  bermanfaat.  Sedangkan  kata   islah
digunakan  oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu  membutuhkan  objek;  dan  kedua  adalah  shalah   yang
digunakan  sebagai  bentuk  kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai  tertentu  pada  sesuatu
agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai  yang  tidak
menyertainya  hingga  tujuan  yang dimaksudkan tidak tercapai,
maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai  tersebut,  dan
hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
 
Jika  kita  menunjuk  hadis,  salah satu hadis yang populer di
dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang  diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
 
     Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia
     tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada
     musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
     saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya.
     Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
     kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu
     kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
     dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
     aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari
     kemudian.
 
Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan  di  atas
dilengkapi dengan,
 
     Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan
     tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.
 
                              ***
 
Demikian  terlihat,  betapa  ukhuwah   Islamiah   mengantarkan
manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.
 
Untuk  memantapkan  ukhuwah  Islamiah,  yang  dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan  agama,  atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang
lebih  penting  lagi  adalah  langkah-langkah   bersama   yang
dilaksanakan   oleh  umat,  sehingga  seluruh  umat  merasakan
nikmatnya.[]
  

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar